Kamis, 22 Juli 2021

Saat Pandemi, Bisakah Kelaparan Teratasi?

Saat Pandemi, Bisakah Kelaparan Teratasi?



Oleh: Arinda Nurul Widyaningrum

PPKM (Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat) resmi diperpanjang hingga 25 Juli 2021. Namun sebelum perpanjangannya berlaku, rakyat sudah menjerit. Janji pemerintah yang akan memberikan bansos senilai Rp. 300 ribu per bulan baru dicairkan pada hari ke-10 pembatasan tersebut. Wajar bila netizen ramai-ramai memprotes lantaran kebijakan yang dinilai hanya semakin menyengsarakan. 



Sebelumnya masyarakat memang sudah diminta tenang oleh Presiden dalam menghadapi PPKM, bahkan juru bicara Kementrian Komunikasi dan Informatika, Dedy Permadi menyatakan negara akan hadir dan tidak akan membiarkan setiap warga negara kelaparan. Luhut Binsar Panjaitan selaku Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pun juga menjamin hal yang sama. Yakni memastikan tidak ada masyarakat di wilayahnya yang mengalami masalah pemenuhan kebutuhan pokok.  



Namun tetap saja, jaminan-jaminan tersebut belum cukup memuaskan hati masyarakat, mengapa? Belajar dari pengalaman, masyarakat tahu bahwa PPKM tak akan jauh beda dengan PSBB, dimana kebijakan tersebut hanya semakin memperparah keadaan ekonomi. Di antara yang dikeluhkan adalah soal dana bansos yang tidak merata, tidak tepat sasaran, mekanisme yang kurang baik, bahkan sampai dananya yang dikorupsi. 



Belum selesai kekhawatiran itu, kabar buruk pun datang dari Menko PMK Muhadjir Effendy. Beliau mengatakan bahwa banbsos rupanya tak mampu ditanggung sepenuhnya oleh mereka lantaran terlalu beresiko. Ia pun akhirnya meminta masyarakat untuk gotong royong menyediakan bansos, pemerintah tidak bisa menanggungnya sendiri. (detik.com16/07/21)

Bila sudah seperti ini, wajar bila kepercayaan masyarakat mulai luntur.


 Maka yang dibutuhkan bukanlah pencitraan di depan masyarakat seperti mengakui bahwa keadaan covid 19 di Indonesia terkendali dan sebagainya. Sementara pada kenyatannya justru berkebalikan. Buktinya, tak berselang lama, pemerintah mengakui sendiri bahwa Corona varian baru tak bisa dikendalikan. 


Di sisi lain saat pemerintah membatasi kegiatan ekonomi masyarakat, utamanya UKM dan pedagang kecil dengan alasan untuk mengurangi mobilitas pergerakan, namun gerbang penerbangan antar negara lain masih terbuka. 


Katanya, sudah dilengkapi dengan penjagaan ketat. WNA yang boleh masuk adalah yang sudah divaksin dan akan diisolasi mandiri.


 Namun tetap saja menyakiti hati rakyat. Sebab, vaksin lagi lagi menjadi tolak ukur kemudahan aktivitas dan administrasi lucunya tak dapat dipenuhi di negeri ini. 


Di tahun 2021 ini ditargetkan bisa mencapai 208 juta penduduk yang divaksin, namun karena jumlah vaksin yang tersedia terbatas. 


Terjadilah kekosongan vaksin. Padahal jumlah vaksin yang dibutuhkan adalah 426 juta. Belakangan muncul wacana vaksin berbayar yang ramai-ramai ditolak, dan akhirnya batal. 


Bagaimana bisa hendak melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat tetapi selalu saja dengan syarat yang tak mampu mereka penuhi? Jangankan untuk berburu vaksin berbayar seperti yang dilakukan orang bermodal ke luar negeri, untuk mencari makan sehari saja sudah kembang kempis. 


 Di sinilah terlihat jelas ketimpangan sosial dan ketidakadilan. Yang bermodal mampu beriwsata dan berburu vaksin di luar negeri, sedangkan yang tak bermodal hanya mengandalkan herd immunity.

 

 Sungguh membingungkan semua pihak. Di saat PPKM diberlakukan untuk mencegah mobilitas masyarakat lantaran kasus covid melonjak, tetapi pemerintah melalui mendagri bekerja sama dengan AS agar yang bermodal bisa dapat vaksin di sana. 

 

Di saat masyarakat diminta diam di rumah, justru bansos mereka tak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian masyarakat. Bila bukan mati karena virus, masyarakat bisa mati karena kelaparan.

 

Dari sini seharusnya kita memuhasabahi diri utamanya penguasa. Bahwa sistem yang dipakai selama ini sudah menunjukkan gejala kronisnya. Betapa lemah dan rapuhnya untuk digunakan mengatur urusan manusia.



Ketidakmampuan penguasa menyelesaikan persoalan hidup orang banyak, adalah lantaran sistem yang digunakan memang tak berpihak pada orang banyak. Sistem kapitalis memang hanya berpihak pada sebagian orang yang bermodal. 


Wajar ketika dihadapkan pada situasi seperti ini, terlihat jelas kekurangan sistemnya. Menguntungkan sebagian pihak, dan merugikan sebagian lainnya. 


Langkah konkrit mengatasi persoalan di negeri ini, harus dilakukan dengan sistemis. Mengubah paradigma bernegara menjadi mandiri harus dilakukan. 


Bukankah Allah dan Rasul-Nya melarang kaum muslimin untuk dijajah dan dikuasai oleh orang-orang kafir? Ketidakmampuan negara dalam mengcover seluruh kebutuhan individu masyarakatnya adalah karena tidak mandiri dala mengelola perekonomian.


Konsep kepemilikan individu telah menjadikan para korporasi swasta utamanya asing mengangkangi sumber daya kita, yang sebenarnya sangat cukup untuk diolah dan diberikan hasilnya pada masyarakat. Sehingga kelaparan itu tak perlu terjadi. Beginilah bila sistem demokrasi meniscayakan hak-hak kepemilikan menjadi hak dasar. Padahal syariat Islam melarang kepemilikan umum diprivatisasi.


 Beginilah bila produk hukum lahir dari manusia yang penuh kepentingan. Padahal syariat Islam menawarkan produk hukum yang datang dari pencipta lengkap dan sempurna.


Lihatlah bagaiamana Islam memosisikan pemimpin sebagai penanggung jawab urusan rakyat.


 Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan pokok individu dan komunal rakyat. Dalam mekanisme pemenuhan nafkah di setiap keluarga, laki-laki wajib memenuhi kebutuhan pokok keluarganya dengan pekerjaan yang difasilitasi oleh negara. Bila tak memiliki pekerjaan, seorang pemimpin yang disebut Khalifah menjamin kebutuhan keluarga tersebut. Dalam kebutuhan komunal seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Maka, khalifah yang menjamin pemenuhannya dengan mengambilkan dana dari baitul mal. 

Apalagi dalam situasi pandemi, sudah pasti khalifah akan memperhatikan setiap kebutuhan per individu, serius membangun kebijakan yang bebas kepentingan. Sebab pemerintah Islam mandiri secara ekonomi, dan tak bergantung pada negara lain. Pemimpin yang bercirikan demikian hanya dapat terbentuk dari kuatnya keimanan dan kesempurnaan aturan Islam yang dijalankan. Masihkah kita belum sadar akan sistem yang saat cacat, rapuh dan masih terus dipertahankan? Semoga masa pandemi ini dijadikan momen muhasabah, untuk segera mendukung tegaknya sistem Islam, pengganti segala sistem rusak buatan manusia. 


wallahualam bisshawab




Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2020 Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA | All Right Reserved