Medan, rakyatindonesia.com – Penjelajah dan peneliti asal Italia, Elio Modigliani, tercengang melihat 21 tengkorak manusia menghiasi sebuah rumah di Desa Hilizihono, Nias Selatan, pada tahun 1886. Lelaki muda yang berjanggut dan berkumis tebal itu pun menyaksikan tengkorak manusia diletakkan secara berbeda-beda.
Ternyata banjaran kepala yang telah menjadi tengkorak itu nyatanya adalah lambang kebanggaan yang tak bisa dilepaskan dulunya bagi tetua desa di Nias Selatan.
Sembilan tengkorak digantungkan di bagian depan rumah searah dengan jalan desa. Lalu 12 tengkorak lainnya sengaja diletakkan sepanjang rumah.
Rumah itu, yang disebut osale, sepintas mata terlihat mencolok. Tak hanya dihiasi 21 tengkorak manusia, bentuknya juga tak seperti kebanyakan rumah yang dijumpai Elio.
Di Nias Selatan, lazimnya rumah-rumah berbentuk panggung dengan lantai yang tak langsung menyentuh tanah. Namun berbeda dengan rumah yang dilihat Elio. Tampak rumah yang satu itu lebih rendah meski dibangun dengan sistem rumah panggung.
Meski demikian, bentuk rumah itu pada umumnya hampir sama. Berbentuk segi empat sebagaimana rumah adat masyarakat Nias yang disebut-sebut sebagai salah satu rumah adat tahan gempa yang ada di Indonesia.
Wajah osale itu pun akhirnya membuat Elio terpikat. Saat berada di dalam osale, tampak sangat berbeda signifikan. Kebanyakan rumah yang telah ditempati Elio selama 75 hari petualangannya di Tano Niha bersama pemburu Jawa yang disewanya di Gunungsitoli tak seperti rumah yang kini di pihaknya.
Pasalnya, rumah-rumah yang disinggahinya terbagi menjadi beberapa sekat. Sekat-sekat itu menunjukkan jumlah orang yang bernaung di dalam. Semakin banyak sekat maka semakin padat rumah itu dihuni manusia.
Elio dengan mata identik orang Eropa hanya melihat satu patung besar dan di sekitarnya beberapa patung kecil. Patung-patung itu diikat di antara tiang-tiang rumah.
Rumah ikonik itu ternyata adalah tempat berkumpulnya orang-orang penting di desa. Setiap desa pastinya memiliki sebuah osale.
Para prajurit hingga pimpinan desa akan berdiskusi di dalam osale. Diskusi itu bisa saja berupa permasalahan penduduk, tempat menjatuhi hukuman, hingga ruang kesepakatan untuk menyatakan ikrar perang dengan desa-desa sekitar.
Osale juga dikenal sebagai tempat persemayaman bagi seorang raja di sebuah desa. Bagi raja yang telah meninggal akan disemayamkan di osale hingga pewaris sang raja berhasil mengumpulkan babi yang akan digunakan untuk upacara kematian.
"Di sanalah disemayamkan mayat raja sampai pewarisnya berhasil mengumpulkan babi sebanyak yang diperlukan untuk mengadakan upacara kematian," kata Elio dalam buku TANAH PARA PENDEKAR: Petualangan Elio Modigliani di Nias Selatan Tahun 1886
Buku oleh Vanni Puccioni.
Saking luhur dan keramatnya, osale dibiarkan kosong melempang. Osale pantang ditempati siapapun. Tempatnya steril dari pelbagai aktivitas warga dan petinggi desa
Awal Mula Berburu Kepala
Konon, kepala-kepala yang digantung di langit-langit rumah itu berawal dari kisah balas dendam atas pembantaian satu keluarga yang terjadi di Botonadu, Nias Selatan. Sebanyak 8 orang yakni dari 1 ibu dan 7 anak dibunuh dan dibakar rumahnya.
Pihak keluarga korban pun merasa tak senang. Peristiwa itu pun kemudian menciptakan ikrar untuk membalaskan dendam.
Adapun yang melakukan balas dendam itu disebut Awuwukha. Bukti balas dendam itu dianggap berhasil dengan memburu para pembunuh satu keluarga dan membawa kepala pembunuh.
"Awalnya hal ini dianggap sebagai satu tindakan yang kurang baik karena membunuh," aku sejarawan dan akademik USU M. Azis Rizky Lubis.
Meski awalnya dianggap perbuatan kurang pantas, tetapi tradisi ini mengakar lama di masyarakat Nias. Sebab usai balas dendam itu, muncul para awuwukhu lainnya di seluruh klan-klan.
Perburuan kepala yang bermula dari balas dendam berubah menjadi ajang pembuktian harga diri. Tak lama, orang-orang Nias menyebutnya sebagai mangai binu.
Namun demikian, mangai binu tak bisa dilakukan sembarangan orang. Tradisi mangai binu hanya boleh dilakukan oleh para petinggi desa. Misalnya, saat seorang kepala desa ingin meninggal, biasanya akan meminta prajuritnya membawakan sejumlah kepala sebagai tanda penghormatan terakhir. Sejumlah kepala itu nantinya digantung di osale.
"Dan yang akan meninggal. Kalau mau meninggal itu berpesan. Pesannya saya ingin dikubur dengan lima kepala, enam kepala, delapan kepala. Tergantung permintaan mereka," bebernya.
Selain itu, mangai binu juga dilakukan saat melakukan lamaran pernikahan. Pihak perempuan biasanya meminta semacam mahar berupa kepala. Jumlah kepala yang diminta menjadi gambaran kedudukan keluarga perempuan.
"Biasanya kalau semakin banyak keluarga perempuan meminta jumpa kelapanya maka itu menandakan semakin tinggi status perempuan ataupun keluarga si perempuan," jelasnya.
Mengapa Harus Kepala?
Tradisi berburu kepala yang dilakukan masyarakat Nias didasari dari filosofi hidup. Disebutkan bahwa kepala menjadi simbol yang dipertuankan. Seseorang dianggap mati apabila kepala telah tercabut dari tubuh lainnya.
Tak hanya manusia, kultur itu juga tergambar jelas dari pesta masyarakat Nias. Dapat dilihat bahwa dalam pesta, seserahan hewan babi harus diberikan di bagian kepala kepada orang dengan berpangkat tinggi.
"Dari kehidupan dalam workview orang Nias. Jadi kalau kepala masih ada itu dia mungkin masih bisa disebut hidup. Maka pemenggalan kepala khususnya musuh dianggap memang mati. Jadi mati bukan tusuk jantung tapi penggal kepala," kata antropolog dari USU, Fotarisman Zalukhu.
Kultur itu juga membikin jasad-jasad masyarakat Nias sangat dijaga. Lazimnya jasad orang tua yang meninggal akan dijadikan patung.
Mulai dari proses pengeringan hingga dibuat menjadi patung. Usai proses selesai, kemudian patung diletakkan di depan rumah keluarga yang berduka.
Seluruh proses tersebut lamanya dijaga ketat anak-anak dari orang yang meninggal. Pasalnya ada kemungkinan orang lain mencuri kepala si jasad.
"Ditaruh. Dikeringkan. Termasuk kepalanya itu dimasukkan dalam menhir di depan rumah orang yang kehilangan bapaknya tadi. Nah dengan cara itu rohnya dimasukkan ke dalam patung untuk menemani anak-anaknya," bebernya.
Namun mangai binu dan peletakan kepala di osale hanya menjadi sejarah. Masyarakat Nias meninggalkan tradisi itu sejak agama Kristen masuk dan menjelanak di Pulau Nias.
Bahkan tengkorak-tengkorak kepala tidak tersisa lagi. Belanda, salah satu pihak yang pernah membangun barak besar di Pulau Nias, menghanguskan seluruh kepala yang masih menggantung di osale.
Kini yang dapat disaksikan di atas osale itu hanyalah kepala babi.(red.IY)
FOLLOW THE Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram