Sabtu, 18 Mei 2024

KRIS Mau Diterapkan, Nasib Kelas 1 BPJS yang Sudah Bayar Gimana?

KRIS Mau Diterapkan, Nasib Kelas 1 BPJS yang Sudah Bayar Gimana?

 


JAKARTA, rakyatindonesia.com - Rencana penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) memicu polemik di tengah masyarakat, terutama peserta BPJS Kesehatan kelas 1.

Sejak munculnya rencana implementasi sistem KRIS untuk menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 59 Tahun 2024 yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 8 Mei 2024 lalu, tidak sedikit peserta BPJS Kesehatan kelas 1 yang melontarkan protes.

Dalam protesnya, peserta BPJS Kesehatan kelas 1 mengaku merasa rugi karena selama ini sudah membayar iuran lebih lebih tinggi daripada kelas lainnya, tetapi pada akhirnya akan disetarakan pelayanannya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena menegaskan bahwa KRIS berencana diimplementasikan untuk memberikan kenyamanan bagi pasien rawat inap peserta BPJS Kesehatan.

Ia mengatakan, manfaat yang nantinya akan diperoleh peserta BPJS Kesehatan kelas 1 akan tetap alias tidak ada perbedaan meskipun KRIS sudah menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3.

"Yang berbeda cuma sedikit kenyamanan doang, tapi semua pelayanan sama," tegas Melki saat ditemui di Jakarta Pusat, Jumat (17/5/2024).

"Yang medisnya juga tu. Dokter, perawat, bidan, pelayanannya persis sama. Enggak ada beda. Obat tetap sama semua, tetap sama. Yang beda cuma kenyamanan," sambungnya.

Melki mengatakan, kenyamanan adalah hal yang harus dirasakan oleh para peserta BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia. Maka dari itu, KRIS berencana untuk diimplementasikan agar tidak ada kesenjangan dalam pelayanan rawat inap.

"Kenyamanan minimal itu milik semua. Jadi, jangan kayak tadi itu, ada satu bangsal 12 tempat tidur, tidak punya kamar mandi dalam, tidak punya ventilasi, udaranya enggak benar," ujar anggota fraksi Partai Golkar Nusa Tenggara Timur itu.

"Nah, itu yang kita suruh semua standar sama. Di Papua, di Aceh, semua sama," tegasnya.

Sementara itu, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), Ali Ghufron Mukti mengungkapkan bahwa BPJS Kesehatan dan pemerintah masih belum dapat menentukan bagaimana perbedaan antara KRIS dan kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan, besaran iuran yang dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan, hingga skema iuran.

"Itu, kan, diberi waktu untuk dievaluasi. Jadi belum bisa dijawab sekarang," tegas Ghufron.

Terkait potensi kenaikan iuran yang dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan, Ghufron belum dapat memastikan hal tersebut. Namun, ia menyebut bahwa kemungkinan iuran akan naik bisa terjadi.

"Ada kenaikan, boleh. Ada (kenaikan) lebih bagus, ya. Tidak [naik] juga boleh dengan strategi yang lain, tetapi yang jelas ini menunggu semuanya evaluasi itu, kan," kata Ghufron.

Sebelumnya, Kepala Pusat Pembiayaan Kemenkes RI, Dr. Ahmad Irsan menegaskan bahwa BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu RI), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) baru akan menetapkan tarif dan manfaat KRIS sesuai dengan hasil evaluasi selama masa transisi yang telah diberlakukan. Ia mengungkapkan, penetapan dilakukan paling lambat 1 Juli 2025.

Adapun, evaluasi terkait implementasi Perpres Nomor 59 Tahun 2024 akan terus dilakukan hingga 30 Juni 2025.

Juru Bicara Kemenkes RI, Mohammad Syahril menegaskan bahwa sistem KRIS mewajibkan rumah sakit untuk mengisi satu kamar rawat inap maksimal empat tempat tidur dengan jarak 1,5 meter.

Syahril menyebut,pengurangan jumlah tempat tidur dalam satu kamar ini bukan berarti rumah sakit mengurangi jumlah ketersediaan tempat tidur. Tempat tidur yang dikurangi di dalam satu ruangan dapat dipindahkan ke ruangan lainnya, baik ruangan lama atau baru sehingga jumlah tempat tidur akan tetap sama.

Selain satu kamar diisi maksimal empat tempat tidur, Syahril juga mengungkapkan bahwa tabung oksigen dan bel untuk memanggil tenaga kesehatan (nurse call) wajib disediakan rumah sakit untuk masing-masing tempat tidur.

"Oksigen, kemudian bel harus satu-satu. Kamar mandi juga harus di dalam karena, kan, di beberapa rumah sakit [kamar mandi] kelas tiganya masih di luar," ujar dr. Syahril di Kantor Kemenkes RI.

Berkaitan dengan penerapan KRIS, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 telah mengatur 12 persyaratan mengenai fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS. Hal ini tertuang dalam Pasal 46 A Ayat 1.

1. Komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi.

2. Ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal 6 (enam) kali pergantian udara per jam.

3. Pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur.

4. Kelengkapan tempat tidur berupa adanya 2 (dua) kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur.

5. Adanya nakas per tempat tidur.

6. Dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20 sampai 26 derajat celcius.

7. Ruangan telah terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (infeksi dan non infeksi).

8. Kepadatan ruang rawat inap maksimal 4 (empat) tempat tidur, dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter.

9. Tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung.

10. Kamar mandi dalam ruang rawat inap.

11. Kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas.

12. Outlet oksigen.(red.I)


Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2020 Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA | All Right Reserved