KEDIRI, rakyatindonesia.com – Kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus kembali menjadi perhatian publik. Meski pertama kali mencuat pada 2021, mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri masih merasa cemas dan menilai kasus serupa terus berulang. Hal ini memicu aksi damai dari mahasiswa yang mendesak pihak kampus untuk menangani kasus-kasus tersebut secara tuntas.
Kasus pelecehan yang menyeruak tiga tahun lalu melibatkan seorang dosen yang diduga memanggil mahasiswi ke rumahnya dengan dalih bimbingan skripsi. Dugaan pelecehan ini sempat viral di media sosial dan ramai diberitakan di media nasional. Namun, mahasiswa mengungkapkan bahwa hingga saat ini, tindakan pelecehan masih terjadi meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Pengakuan Korban: Tak Berani Melapor
Seorang mantan mahasiswa, sebut saja N, mengaku mengalami pelecehan dalam bentuk komunikasi yang tidak pantas dari dosennya pada 2021. Ia menerima pesan WhatsApp dengan ajakan bertemu yang tidak berkaitan dengan perkuliahan.
"Saya merasa tidak nyaman karena dosen itu terus menghubungi saya untuk bertemu, padahal tidak ada urusan akademik. Karena takut, akhirnya saya memilih untuk mengabaikan pesan tersebut," ungkapnya.
Saat itu, perkuliahan masih berlangsung secara daring sehingga ia tidak harus bertemu langsung dengan dosen tersebut. Namun, N tidak berani melapor karena khawatir akan berpengaruh pada studinya.
"Saya takut kalau nanti skripsi saya dipersulit," katanya.
Pengalaman serupa juga dialami oleh beberapa mahasiswa lainnya, termasuk mereka yang berasal dari angkatan di bawah N. Sayangnya, banyak yang memilih diam karena khawatir dengan konsekuensi yang bisa mereka hadapi.
Respons Kampus: Pelecehan Tidak Bisa Dipungkiri
Menanggapi keresahan mahasiswa, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Kediri, Luthfi Atmasari, mengakui bahwa kasus pelecehan memang pernah dilaporkan. Namun, menurutnya, belum ada kasus yang mencapai tingkat kriminal berat seperti pemaksaan hubungan seksual.
"Pelecehan di kampus memang ada, tapi sejauh ini tidak sampai ke ranah hukum atau tindakan pemerkosaan," ujarnya.
PSGA telah bekerja sama dengan mahasiswa untuk menangani kasus pelecehan, salah satunya melalui akun Instagram focalpoint_iainkediri. Mahasiswa yang mengalami pelecehan bisa mengadukan kejadian tersebut melalui direct message (DM), yang kemudian bisa ditindaklanjuti oleh PSGA.
Namun, kendala terbesar adalah banyak korban yang enggan melanjutkan kasus ke tahap pelaporan resmi. Alasan utama yang kerap muncul adalah kekhawatiran akan dampak akademik, terutama bagi mahasiswa yang berada di semester akhir.
Sanksi bagi Pelaku Pelecehan
Luthfi menegaskan bahwa pihak kampus memiliki mekanisme sanksi bagi pelaku pelecehan seksual, yang terbagi dalam tiga tingkatan:
- Sanksi ringan: Pembinaan oleh PSGA.
- Sanksi sedang: Pengurangan jam mengajar atau larangan membimbing skripsi.
- Sanksi berat: Surat peringatan (SP) yang bisa berujung pada pemecatan atau bahkan pelaporan ke pihak berwenang.
Proses penyelesaian kasus pelecehan sendiri memerlukan waktu antara satu hingga tiga bulan, karena membutuhkan klarifikasi dari korban, pelaku, serta saksi lainnya.
Mahasiswa Diminta Berani Melapor
Luthfi mengimbau agar mahasiswa yang mengalami tindakan tidak senonoh segera melapor. Tanpa adanya laporan resmi, pihak kampus tidak dapat menindaklanjuti kasus yang terjadi.
"Kami akan terus melakukan sosialisasi agar mahasiswa yang menjadi korban berani speak up dan melapor ke PSGA," tandasnya.
Mahasiswa berharap agar kampus lebih serius dalam menangani kasus pelecehan seksual dan memberikan perlindungan maksimal bagi korban. Keberadaan mekanisme pelaporan yang lebih mudah serta sanksi yang tegas bagi pelaku diharapkan bisa mengurangi kasus pelecehan di lingkungan akademik.(Red.AL)
FOLLOW THE Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram