Sunday, March 16, 2025

Majelis Al-Ihya’ Semakin Berkembang, Gus Reza Dirikan Madrasah Qurowiyah untuk Santri Jaba Pager

Majelis Al-Ihya’ Semakin Berkembang, Gus Reza Dirikan Madrasah Qurowiyah untuk Santri Jaba Pager

  



Kediri, rakyatindonesia.com  – Majelis Al-Ihya’ semakin mendapat respon positif dari masyarakat luas. Antusiasme yang tinggi membuat banyak orang, khususnya dari luar pesantren, ingin belajar lebih dalam mengenai ilmu agama. Hal ini mendorong Gus Reza untuk mendirikan Madrasah Qurowiyah, sebagai wadah bagi santri jaba pager, yakni mereka yang ingin mendalami ilmu agama tetapi tidak tinggal di dalam lingkungan pondok pesantren.

Majelis Al-Ihya’ pertama kali didirikan pada tahun 2013 dan terus berkembang seiring waktu. Awalnya, jumlah jemaah yang mengikuti pengajian ini hanya puluhan orang. Namun, dalam perkembangannya, kini jemaah Al-Ihya’ tersebar di berbagai daerah. Seiring dengan meningkatnya minat belajar yang lebih intensif, banyak jemaah yang tidak hanya ingin sekadar mengikuti pengajian rutin Ahad Legi, tetapi juga ingin mendalami ilmu agama secara lebih mendalam.

“Alhamdulillah, ini adalah berkah dari pengajian Majelis Al-Ihya’. Ada banyak jemaah yang datang dan ingin belajar lebih dalam mengenai fikih, cara meningkatkan kualitas ibadah mereka, serta memahami kitab kuning secara mendalam,” ungkap Gus Reza, yang memiliki nama lengkap Reza Ahmad Zahid.

Suami dari Ning Niswatul Arifah ini menambahkan bahwa mayoritas jemaah yang ingin belajar secara intensif bukanlah santri dari Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah, melainkan masyarakat umum yang tidak memiliki latar belakang sebagai santri. Berangkat dari permintaan ini, pada tahun 2018, Madrasah Qurowiyah akhirnya didirikan sebagai wadah bagi para jemaah yang ingin memperdalam ilmu agama.

Secara harfiah, istilah jaba pager berarti “di luar pagar,” yang dalam konteks ini merujuk pada jemaah yang tidak tinggal di dalam asrama pesantren. Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat sekitar yang awalnya hanya mengikuti pengajian rutin Majelis Al-Ihya’.

“Madrasah ini berkembang dari Majelis Al-Ihya’. Kami membuka Madrasah Qurowiyah yang berbasis pedesaan, khusus untuk masyarakat sekitar,” jelas Gus Reza.

Madrasah ini berlokasi di Kelurahan Ngampel, tepatnya di Yayasan Al-Hidayah Berkarya Kediri, yang juga berada di bawah binaan Gus Reza. Kegiatan pengajian di madrasah ini diadakan setiap hari Sabtu dan Minggu sore, menyesuaikan dengan waktu luang para santri yang mayoritas bekerja dan baru memiliki waktu setelah pulang kantor.

Awalnya, hanya satu atau dua orang yang mengikuti pengajian di Madrasah Qurowiyah. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah santri semakin bertambah. Para santri yang bergabung kebanyakan adalah masyarakat umum yang sebelumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Meski demikian, semangat mereka dalam mencari ilmu agama sangat tinggi.

“Mereka adalah jemaah Majelis Al-Ihya’ yang ingin belajar agama secara lebih intensif. Oleh karena itu, kami siapkan Madrasah Qurowiyah. Santrinya bukan santri mondok, tetapi mereka tetap kami anggap sebagai santri jaba pager,” ujar Gus Reza dengan senyum.

Dalam sistem pembelajaran, Gus Reza berperan sebagai pengawas, sementara pengajian setiap Sabtu dan Minggu diisi oleh para ustaz yang telah ditunjuk. Selain itu, pada pengajian Ahad Legi, para santri Madrasah Qurowiyah juga turut mengikuti pengajian bersama Gus Reza dan jemaah lainnya.

Materi yang diajarkan di madrasah ini meliputi kajian kitab kuning dasar, seperti nahwu shorof dan fikih dasar, serta kitab-kitab lainnya yang memberikan pemahaman fundamental mengenai agama Islam.

“Sebagai bekal dasar mereka, kami ajarkan ilmu yang fundamental. Ini semua berangkat dari Majelis Al-Ihya’,” jelas ayah dari Novan Ahmad Reza dan Ronim Azkal Miskiyah tersebut.

Keberlangsungan pengajian Majelis Al-Ihya’ ini juga berkat antusiasme dan inisiatif dari para jemaah sendiri. Mereka secara sukarela menentukan jadwal pengajian, menyiapkan peralatan seperti sound system, panggung untuk Gus Reza, hingga konsumsi dengan konsep ala pondok pesantren yang disajikan di nampan.

“Mereka datang dengan keinginan sendiri, menentukan sendiri kapan waktunya pengajian. Ketika malam Ahad Legi tiba, mereka langsung datang dan mempersiapkan segalanya. Semua berjalan secara alami sesuai dengan kemampuan yang ada,” ujar Gus Reza.

Meskipun jumlah jemaah terus bertambah, bagi Gus Reza, angka bukanlah hal yang paling penting. Baginya, yang utama adalah esensi dari pengajian itu sendiri, yaitu mencari ilmu dan menyebarkan manfaat bagi sesama.

“Yang penting kita bisa ngaji bareng. Yang paling utama adalah menjalankan dawuh Kanjeng Nabi, mencari ilmu, dan berkhidmat menyebarkan ilmu kepada orang lain. Masalah jumlah itu urusan kesekian, berapa pun yang hadir tetap kita ngaji. Bahkan kalau pun tidak ada yang hadir, saya tetap akan mengaji sendiri,” pungkasnya sambil tertawa.(Red.AL)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2020 Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA | All Right Reserved