KEDIRI, rakyatindonesia.com – Dunia maya kembali diguncang oleh kasus mengerikan. Sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah terbongkar menyebarkan konten menyimpang yang melibatkan hubungan inses dan kekerasan seksual terhadap anak.
Yang membuat masyarakat geram, sebagian besar pelaku justru adalah orang terdekat: ayah kandung, paman, atau kerabat lain. Mereka bukan hanya melakukan perbuatan bejat itu, tapi juga menyebarkannya secara terang-terangan di media sosial.
Tak hanya bertukar video, para pelaku bahkan menjadikan grup tersebut sebagai ruang diskusi gelap. Mereka merasa bebas dari hukum, seolah moral sudah tidak lagi menjadi pegangan.
Padahal, rumah seharusnya menjadi tempat berlindung bagi anak-anak, bukan menjadi tempat yang justru paling menakutkan.
Tragisnya, kejahatan ini tidak terjadi sekali dua kali. Kasus seperti ini hanya sebagian kecil dari realita yang lebih luas. Banyak anak tak bersuara karena takut, malu, atau tidak tahu bahwa mereka adalah korban.
"Anak itu seperti kertas putih. Kalau orang tua mencoretnya dengan tinta kotor, sulit sekali menghapus bekasnya," ujar seorang psikolog anak di Kediri, yang enggan disebutkan namanya.
Seperti halnya tren musik underground yang sempat muncul diam-diam di balik panggung industri arus utama, konten menyimpang seperti ini pun berkembang dalam ruang tersembunyi dunia maya. Meski tak terlihat di permukaan, dampaknya bisa sangat mematikan.
Kasus “Fantasi Sedarah” menyadarkan kita bahwa media sosial, yang seharusnya menjadi sarana komunikasi, bisa berubah menjadi tempat penyebaran kejahatan. Apalagi ketika pengawasan longgar dan kesadaran literasi digital masih rendah.
Langkah pemerintah yang akhirnya turun tangan, dengan membongkar jaringan grup tersebut melalui pelacakan digital, tentu layak diapresiasi. Tapi langkah itu dianggap sebagian kalangan sebagai reaktif. Karena grup tersebut sudah beroperasi sejak lama, dan baru dibasmi setelah ramai diperbincangkan publik.
“Yang menyedihkan, selama ini banyak yang menyepelekan peran keluarga dalam menjaga anak dari kekerasan seksual. Padahal sumber ancamannya justru dari sana,” ungkap aktivis perlindungan anak di Kabupaten Kediri.
Di wilayah Kediri sendiri, beberapa kasus kekerasan seksual dalam lingkup keluarga sudah beberapa kali mencuat ke permukaan. Sayangnya, belum banyak yang berani bicara. Rasa takut dan tekanan dari dalam keluarga masih menjadi penghalang besar.
Kini, saatnya semua pihak sadar. Perlindungan anak bukan hanya tugas negara atau lembaga formal. Orang tua, sebagai pihak yang paling dekat dengan anak, harus menjadi pelindung utama.
Jangan sampai rumah menjadi tempat anak-anak kehilangan rasa aman. Jangan biarkan media sosial merenggut masa depan mereka karena kita lalai mendampingi.
Pendidikan seksual, komunikasi terbuka, serta pendampingan aktif di dunia digital harus menjadi perhatian bersama. Bukan lagi tabu, tapi kebutuhan.
Mari bersatu menjaga anak-anak, terutama anak kita sendiri. Karena jika orang tuanya yang gagal melindungi, siapa lagi yang bisa mereka andalkan?
(RED.AL)
FOLLOW THE Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram