Friday, June 13, 2025

Melampaui Layar: Fenomena Standar TikTok dan Tekanan Sosial yang Tak Terlihat

Melampaui Layar: Fenomena Standar TikTok dan Tekanan Sosial yang Tak Terlihat

  


Kediri,  rakyatindonesia.com  – Aplikasi TikTok kini bukan sekadar platform hiburan. Ia telah tumbuh menjadi ruang digital yang memengaruhi gaya hidup, pola pikir, hingga persepsi banyak orang tentang arti sukses dan bahagia. Namun, populernya konten viral di TikTok perlahan melahirkan standar sosial baru yang tidak selalu sehat untuk diikuti.

Dengan sistem algoritma yang menyesuaikan minat pengguna, TikTok menghadirkan konten yang terasa sangat personal lewat halaman For You Page (FYP). Semakin sering seseorang menonton jenis video tertentu, maka konten serupa akan terus mendominasi linimasa mereka. Tanpa sadar, hal ini menciptakan gelembung informasi yang mengulang-ulang tren dan menciptakan kesan bahwa itulah kehidupan ideal.

Mulai dari tren fashion, standar kecantikan, rutinitas estetik, hingga gaya komunikasi, semua seolah memiliki cetakan yang harus diikuti jika ingin diterima atau “diakui” dalam dunia TikTok. Akibatnya, banyak pengguna — terutama kalangan remaja — merasa harus memenuhi standar yang ditampilkan dalam video berdurasi pendek tersebut.

Standar TikTok terbentuk bukan dari aturan tertulis, tetapi dari dominasi konten populer,” ujar seorang pemerhati media sosial di Kediri. Konten dengan tampilan menawan, tubuh proporsional, atau gaya hidup mewah cenderung lebih mudah menjangkau banyak pengguna. Ini yang kemudian menciptakan persepsi sosial palsu, bahwa untuk dianggap keren atau berhasil, seseorang harus seperti yang mereka lihat di layar.

Sayangnya, konten-konten itu sering kali merupakan hasil dari proses seleksi, pengeditan, filter, bahkan rekayasa tertentu. Meski demikian, tak sedikit pengguna yang mulai membandingkan realitas hidup mereka dengan potongan-potongan video yang belum tentu mencerminkan kehidupan nyata.

Fenomena ini berkaitan erat dengan konsep hiperrealitas, yakni ketika citra buatan terasa lebih nyata dibanding kenyataan sebenarnya. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menimbulkan tekanan batin, seperti kecemasan, krisis percaya diri, hingga stres sosial.

Di kalangan remaja, dorongan untuk tampil sesuai tren TikTok sangat kuat. Tak sedikit yang rela mengeluarkan uang untuk memenuhi gaya hidup ala TikTok, hanya demi terlihat ‘layak tayang’. Tidak hanya itu, ekspektasi terhadap diri sendiri dan orang lain juga mulai dibentuk berdasarkan apa yang sedang tren di platform tersebut.

Hal ini memunculkan kecenderungan untuk menilai kebahagiaan dan keberhasilan dari tampilan luar semata. Seolah jika seseorang tidak sesuai dengan template viral TikTok, maka dia dianggap kurang menarik atau gagal.

Padahal, setiap individu memiliki kondisi dan realitas hidup yang berbeda. Tidak adil jika standar kehidupan disamakan hanya karena algoritma menayangkan konten yang serupa berulang-ulang. Penting bagi masyarakat, terutama generasi muda, untuk memiliki kesadaran digital yang kritis.

Tidak semua yang muncul di FYP adalah kenyataan. Banyak video dibuat demi konten semata, bukan sebagai cermin kehidupan sehari-hari. Menyadari hal ini akan membuat pengguna tidak mudah terjebak dalam standar semu yang ditetapkan dunia maya.

TikTok tetaplah sebuah platform. Ia bisa menjadi ruang belajar, inspirasi, bahkan pemberdayaan — asalkan digunakan dengan bijak dan tidak mengorbankan keaslian diri.

Sudah waktunya kita kembali memandang kehidupan dari realitas yang sesungguhnya, bukan dari sorotan kamera dan filter digital. Karena hidup yang nyata lebih luas, lebih kompleks, dan jauh lebih berharga daripada apa yang sekadar viral di FYP.(RED.AL)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2020 Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA | All Right Reserved