Monday, June 9, 2025

Teknologi Jadi Pedang Bermata Dua dalam Dunia Pendidikan, Ancaman atau Peluang?

Teknologi Jadi Pedang Bermata Dua dalam Dunia Pendidikan, Ancaman atau Peluang?

  


Kediri,  rakyatindonesia.com  – Perkembangan teknologi yang melesat cepat turut membawa dampak besar dalam dunia pendidikan. Di satu sisi memberikan kemudahan luar biasa, namun di sisi lain juga menyimpan tantangan yang tak sedikit.

“Sekarang ini tinggal ngomong atau ngetik di HP, jawaban sudah muncul. Dulu, kami harus baca dari satu buku ke buku lain. Jadi proses berpikirnya lebih panjang,” tutur Misriati, pensiunan guru dengan nada membandingkan zaman dulu dan sekarang.

Fenomena ini kemudian digambarkan sebagai pedang bermata dua. Teknologi mampu mendorong siswa yang rajin menjadi semakin cerdas, namun di saat bersamaan, menjadikan siswa yang malas berpikir hanya bergantung pada hasil instan tanpa memahami prosesnya.

ChatGPT, YouTube, dan TikTok: Antara Solusi dan Masalah Baru

Menurut Aprilia Ayu Puspitasari, salah satu pendidik muda, kehadiran teknologi seperti ChatGPT dan aplikasi sejenis memang membantu, tapi sering kali membuat siswa enggan membaca buku.

“Anak-anak lebih mengandalkan jawaban dari AI. Padahal belum tentu semuanya benar,” jelas Aprilia.

Namun, ia juga mengakui bahwa platform seperti YouTube dan TikTok sebenarnya bisa menjadi alat bantu pembelajaran yang kreatif, asalkan digunakan dengan bijak dan tidak berlebihan. Masalahnya, di lapangan, justru platform ini kerap disalahgunakan.

“Sekarang setiap ada pentas seni, anak-anak malah lebih memilih berjoget ala TikTok. Jarang sekali yang tampilkan tari tradisional. Ini mengkhawatirkan, bisa-bisa budaya asli kita tergeser,” imbuh Aprilia. Ia mencontohkan saat acara perpisahan sekolah, mayoritas siswa memilih tampil dengan lagu-lagu pop seperti JKT48 ketimbang tarian daerah.

Sekolah Berupaya Adaptif, tapi Tetap Ada Batasan

Purwaningrum, Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum di SMPN 1 Ngasem, menyebut bahwa siswa saat ini lebih tertarik dengan pembelajaran berbasis teknologi. Oleh karena itu, sekolah memperbolehkan siswa membawa HP, namun hanya untuk jam pelajaran tertentu.

“Kalau di luar jam itu, HP dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam loker,” jelasnya.

Di tempat lain, guru PPKn SMAN 1 PareMohamad Indra Kurniawan, mencoba metode kreatif dengan menyelipkan permainan seperti ular tangga edukatif. Setiap kotak permainan berisi pertanyaan, dan jika siswa menjawab salah, poin mereka akan hilang.

“Siswa jadi lebih semangat dan tidak bosan. Ini salah satu cara supaya mereka tetap berpikir, tidak hanya menerima jawaban instan,” ujarnya.

Meski begitu, Purwaningrum juga jujur mengungkapkan bahwa mengajar siswa zaman sekarang tidak semudah generasi sebelumnya. “Pola tangkap anak dulu lebih baik. Sekarang cepat bosan,” katanya.

Ancaman Nyata: Gadget Bisa Picu Gangguan Mental

Lebih jauh, psikolog dari RSUD Gambiran Kota KediriKristika Sadtyaruni, mengingatkan bahaya nyata dari kecanduan gadget. Menurutnya, hal ini bisa menjadi awal munculnya gangguan kejiwaan berat.

“Banyak anak yang akhirnya sulit mengontrol emosi, kehilangan kemampuan interaksi sosial, bahkan menunjukkan perilaku agresif. Itu bisa jadi gejala awal gangguan mental berat,” jelas Kristika.

Yang lebih mengkhawatirkan, kata dia, adalah minimnya kesadaran orang tua. Banyak dari mereka menormalisasi kecanduan gadget karena juga melakukan hal yang sama. Akibatnya, baru mencari pertolongan saat anak sudah menunjukkan gejala parah, seperti menolak sekolah, melawan jika HP-nya diambil, atau marah tanpa sebab.

Solusi: Pendampingan Orang Tua dan Aktivitas Pengganti

Kristika menekankan bahwa komitmen orang tua sangat dibutuhkan. Salah satu solusinya adalah terapi keluarga (family therapy), di mana tidak hanya anak yang mengurangi waktu bermain gadget, tetapi juga orang tuanya.

“Luangkan waktu. Ajak anak bermain, ikutkan les yang menyenangkan. Waktu yang biasanya untuk gadget bisa diganti aktivitas yang seru,” sarannya.

Menurut Kristika, anak tetap boleh bermain gadget, tetapi harus dibatasi. Yang penting adalah pengendalian dan pengawasan. “Kalau tidak, kita bisa kalah dengan algoritma medsos,” tambahnya.

Terkait tantangan media sosial, Kristika juga menyampaikan bahwa materi dari guru saat ini perlu dibuat lebih menarik dan interaktif. “Kalau tidak, siswa akan lebih memilih konten YouTube atau TikTok daripada pelajaran,” pungkasnya.

Teknologi bukan musuh. Tapi bila dibiarkan tanpa arahan, ia bisa menjadi bumerang. Semua pihak—guru, orang tua, dan siswa—perlu berjalan bersama agar pendidikan tetap relevan, berbudaya, dan sehat secara mental.

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2020 Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA | All Right Reserved