Senin, 05 Februari 2024

120 Sivitas Akademika Unair Kritik Keras Pemerintahan Jokowi

 120 Sivitas Akademika Unair Kritik Keras Pemerintahan Jokowi

 




Surabaya, rakyatindonesia.com - Sivitas akademika Universitas Airlangga (Unair) menyampaikan pernyataan sikap mengkritisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan situasi demokrasi saat ini. Ada 120 orang yang ikut dalam kegiatan ini.


Pernyataan sikap ini menyusul akademisi kampus lain seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI) hingga Universitas Padjadjaran (Unpad).


Acara ini digelar di depan halaman gedung Pascasarjana, Kampus B Unair. Pernyataan sikap yang disampaikan bertema "Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik".


Guru Besar Sosiologi FISIP Unair Prof Hotman Siahaan menyatakan, pilihan Indonesia menjadi republik, artinya Republik Indonesia memiliki tujuan bernegara yang menempatkan kekuasaan di bawah konstitusi. Ini menegaskan dirinya sebagai negara hukum, rule of law bukan rule by the law.


Hotman menegaskan ini artinya tidak diperkenankan seorang presiden maupun segenap penyelenggara negara, memanfaatkan akses kekuasaan dan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun kepentingan personal apapun tujuan dan caranya.


Namun sayangnya, pihaknya menyaksikan berbagai pelencengan terhadap prinsip republik yang terjadi beberapa waktu terakhir. Apalagi, hal ini terjadi untuk kepentingan kekuasaan.


"Mulai dari upaya untuk memanfaatkan MK untuk mengubah aturan syarat mendaftar capres maupun cawapres sebagai celah hukum yang memberi jalan kepada Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres," kata Prof Hotman di halaman gedung Pascasarjana, Kampus B Unair, Senin (5/2/2024).


Prof Hotman juga menyoroti adanya indikasi penggunaan fasilitas negara maupun aparat negara, demi kepentingan politik partisan elektoral.


"Sampai ketidaktegasan kepemimpinan pemerintah untuk menunjukkan netralitas dalam ucapan dan tindakan dalam Pilpres 2024, yang memiliki kecenderungan membela paslon tertentu yang memiliki hubungan kekeluargaan," bebernya.


"Hal ini menunjukkan ketidakadaan teladan etis republik yang seharusnya dicontohkan oleh pemimpin republik," imbuh Prof Hotman.


Dalam perjalanan RI, perjuangan menegakkan demokrasi semenjak tahun 1998 dengan jatuhnya Suharto telah membawa korban, darah, nyawa dan air mata. "Termasuk dua saudara Unair, Herman dan Bimo Petrus (yang hilang)," ujarnya.


Sejak saat itu, pelan-pelan seluruh warga Indonesia dan bangunan kelembagaan RI melangkah ke tatanan demokrasi. Ini diperkuat dan diikat TAP MPR tahun 1999 perihal Penyelenggaraan Negara yang bersih dan anti-KKN, menegaskan ikrar terhadap tegaknya etika republik dalam bernegara.


Atas dasar itu lah, warga Unair sebagai bagian dari entitas masyarakat sipil, tidak menghendaki RI jatuh kembali pada situasi kegelapan yang mengkhianati jati dirinya sebagai negara republik, sekaligus negara demokrasi.

Prof Hotman mengatakan hal yang perlu diingat kembali oleh Jokowi, bahwa legitimasi maupun dukungan rakyat kepada pemerintahannya semenjak 9 tahun lalu, tidak bisa dilepaskan dari harapan bahwa presiden akan menjalankan etika republik dan merawat demokrasi maupun pemerintahan yang bebas KKN.

Menurutnya Prof. Hotman, saat akan mengakhiri pemerintahannya, Jokowi seharusnya mengambil sikap yang tidak menodai prinsip-prinsip utama tersebut.

Untuk itu, langkah selanjutnya, Prof Hotman menyebut kampus hanya memberikan seruan moral. Pihaknya menegaskan tidak melakukan tindakan politik praktis karena seruan moral ini sebagai bingkai moralitas bangsa untuk menjalankan demokrasi.

"Dan untuk Unair, kami telah punya dua orang martir yang belum ketemu mayatnya, Herman dan Bimo Petrus, semua alumni FISIP Unair dan Airlangga mengetahui hal itu. Tetapi kami melihat isu tentang itu tidak berkembang, karena itu kami mengingatkan kepada masyarakat Indonesia, bahwa kami di kampus ini pernah mengalami kekerasan oleh penguasa pada saat itu," jelasnya.

Prof Hotman juga menekankan penyampaian sikap ini tidak atas nama institusi. Melainkan atas nama pribadi yang merasa terpanggil melihat situasi di negara ini.

"Kalau institusi tidak mengakui, atas nama kampus tidak mengakui, tidak masalah. Karena kalau atas nama institusi harus ada prosedur, harus ada lembaga, kami tidak menggunakan itu. Ini adalah individu-individu keluarga besar Universitas Airlangga, baik yang masih ada, maupun alumni, maupun yang mereka teman-teman yang merasa terpanggil untuk kegiatan ini," pungkasnya.

Berikut 4 pernyataan sikap ratusan sivitas akademika Unair:

1. Mengecam segala bentuk praktik pelemahan demokrasi. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan harus merawat prinsip-prinsip etika republik dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan fasilitas dan alat negara untuk kepentingan kelompok tertentu, maupun berpihak dalam politik elektoral dan menghentikan segala praktik pelanggengan politik kekeluargaan.


2. Mendesak presiden dan aparat negara untuk menghormati dan kemerdekaan atas atas hak-hak sipil dan politik, juga ekonomi, sosial dan budaya bagi tiap warga negara. Kebebasan berbicara, berekspresi, dan pengelolaan sumber daya alam, karena negara Indonesia milik segenap rakyat Indonesia, bukan segelintir elite penguasa


3. Mendesak penyelenggaraan Pemilu luberjurdil tanpa intervensi penguasa, tanpa kecurangan, tanpa kekerasan, dan mengutuk segala praktik jual beli suara (politik uang) yang dilakukan oleh peserta pemilu. Partai politik harus mereformasi diri dalam menjalakan fungsi-fungsi atikulasi agregasi, dan pendidikan politik warganegara


4.Mengecam segala bentuk intervensi dan intimidasi terhadap kebebasan mimbar-mimbar akademik di Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi harus senantiasa menjaga marwah, rasionalitas dan kritisisme para insan civitas akademika demi tegaknya republik.(red.w)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2020 Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA | All Right Reserved