KEDIRI, rakyatindonesia.com – Sosok Den Bei Harjo turun dari mobil sedan hitam dengan gaya mencolok bak seorang tokoh mafia. Dengan topi tekes yang menempel rapih di kepalanya, sepatu kulit mengilap, dan tongkat kayu di tangan, sang juragan rumah kontrakan menagih uang sewa kepada para penghuni satu per satu. Semuanya membayar lunas, kecuali Sumirah—seorang ibu yang tengah dihimpit kesulitan ekonomi dan belum mampu membayar uang kontrakan selama lima bulan.
Di balik kerasnya hidup yang menimpa Sumirah, godaan tak senonoh justru datang dari Den Harjo. Ia mengiming-imingi kehidupan yang lebih layak dengan syarat Sumirah mau menjadi istrinya. Namun, Sumirah menolak tegas demi menjaga harga diri dan kehormatan keluarganya.
Kisah getir dan konflik batin Sumirah tersebut menjadi pembuka film "Bunga Semerah Darah", sebuah adaptasi sinematik dari naskah teater karya maestro sastra WS Rendra. Film berdurasi 90 menit ini mengangkat kembali naskah yang ditulis Rendra pada tahun 1950, ketika ia masih duduk di bangku SMP—menandakan betapa dalam kepekaan sosial penyair yang dijuluki “Si Burung Merak” bahkan sejak usia muda.
“Meskipun ditulis dengan sederhana, naskah ini menunjukkan keberpihakan Rendra pada kaum kecil dan tertindas. Ia merekam realitas sosial dengan ketajaman luar biasa,” ujar Seno Joko Suyono, produser film tersebut.
Film ini merupakan hasil kolaborasi antara Teater Baling Baling Jakarta dan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) Society. Di tangan sutradara Iwan Burnani Toni, alur cerita diperbarui agar lebih relevan dengan zaman. Setting tahun 1950 diganti dengan latar masa kini, sementara penyakit TBC yang dahulu digambarkan dalam naskah asli diganti menjadi Covid-19, menjadikannya lebih aktual dan dekat dengan pengalaman penonton hari ini.
Seno menjelaskan bahwa tantangan terbesar dalam proses produksi film ini adalah transisi antara adegan panggung dan adegan luar panggung, yang harus menyatu secara estetis dan emosional.
"Bunga Semerah Darah" resmi ditayangkan serentak mulai 27 Maret 2025 di jaringan bioskop Sam’s Studio di 17 kota di Indonesia, termasuk Cianjur, Garut, Indramayu, Kediri, Klaten, Nganjuk, Pasuruan, Pekalongan, Pemalang, Probolinggo, Salatiga, Solo, Subang, Sukabumi, dan Ungaran.
Sayangnya, respons penonton di Kediri terbilang rendah. Berdasarkan pantauan Kediripedia.com pada Jumat, 28 Maret 2025, pemutaran film tersebut hanya ditonton oleh segelintir orang. Bahkan, pada malam kunjungan jurnalis ke Sam’s Studio Kediri, studio dalam keadaan hampir kosong.
“Dari empat kali penayangan, total penontonnya hanya lima orang,” kata Aysyafak, salah satu staf Sam’s Studio Kediri.
Menurutnya, minat masyarakat Kediri masih lebih tinggi terhadap genre populer seperti horor dan drama percintaan remaja. Ini menjadi ironi mengingat "Bunga Semerah Darah" menyuguhkan konsep film-teater yang jarang ditemui, serta menampilkan aktor-aktor papan atas seperti Vonny Anggraini, Tio Pakusadewo, Maudy Koesnaedi, Asrul Dahlan, Adam Syahel, Widi Dwinanda, hingga Joind Bayuwinanda.
Salah satu adegan paling menyentuh dalam film ini adalah ketika Sumirah berdialog penuh emosi dengan anaknya, Ali. Di tengah perjuangannya mempertahankan martabat keluarga, Sumirah mengutip syair ikonik karya WS Rendra:
“Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”
Lewat film ini, penonton diajak merenungi ketimpangan sosial, godaan kekuasaan, dan perjuangan hidup di tengah tekanan ekonomi. "Bunga Semerah Darah" bukan sekadar tontonan, tetapi cermin dari kenyataan yang kerap tak terdengar suaranya—membawa pesan kuat tentang kehormatan, keberanian, dan kekuatan perempuan dalam menghadapi kerasnya dunia.(RED.AL)
FOLLOW THE Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram