Saturday, June 14, 2025

Antara Self-Reward dan FOMO: Benarkah Itu Bentuk Cinta Diri?

Antara Self-Reward dan FOMO: Benarkah Itu Bentuk Cinta Diri?

  


Kediri,   rakyatindonesia.com – Belakangan ini, frasa “self-reward itu penting” makin sering terdengar, terutama di tengah generasi pekerja muda yang menjadikan belanja sebagai bentuk apresiasi atas diri sendiri. Namun, apakah semua yang mengatasnamakan self-reward benar-benar lahir dari cinta pada diri, atau hanya upaya membenarkan kebiasaan konsumtif?

Mulai dari belanja sepatu kekinian, skincare yang sedang viral, hingga segelas kopi mahal di kafe instagramable—semuanya bisa dianggap sebagai “hadiah untuk diri sendiri”. Sayangnya, tak sedikit pula yang mengabaikan apakah itu benar-benar dibutuhkan atau hanya ikut-ikutan tren semata.

Secara prinsip, self-reward adalah bentuk penghargaan diri yang sehat. Ia bisa menjadi cara untuk memotivasi diri setelah kerja keras, menghadapi tekanan, atau sekadar bertahan di tengah rutinitas yang melelahkan. Namun, realitas di media sosial kerap membelokkan makna tersebut.

Media sosial menciptakan budaya FOMO (Fear of Missing Out) yang membuat seseorang terdorong membeli sesuatu bukan karena perlu, tapi karena ingin terlihat setara. Teman unggah foto di restoran mewah, langsung muncul dorongan untuk ikut nongkrong di tempat serupa. Lihat reels tentang gadget baru, langsung tergoda, walau belum waktunya ganti.

Akibatnya, self-reward malah jadi jebakan. Alih-alih membuat tenang, yang muncul justru tekanan sosial baru. Tak sedikit orang akhirnya belanja impulsif hanya demi eksistensi digital—dan ketika tagihan datang, stres pun tak terhindarkan. Ironisnya, proses ini terus berulang, tanpa menyadari bahwa diri sedang “dipaksa” membeli kebahagiaan semu.

Padahal, bentuk mencintai diri sendiri tidak harus mahal. Istirahat cukup, menyalakan aroma terapi favorit di kamar, membaca buku, atau sekadar jalan pagi tanpa ponsel pun bisa menjadi bentuk self-reward yang menenangkan.

Sayangnya, yang viral di media sosial bukanlah kesederhanaan itu, melainkan “konten-worthy” semacam unboxing barang branded, staycation mendadak, atau hangout di kafe hype. Tak heran jika standar “bahagia” pun semakin berat dicapai.

Penting untuk diingat, penghargaan pada diri mestinya datang dari kesadaran, bukan dorongan eksternal. Sebelum menekan tombol checkout, coba tanya: ini untuk kebahagiaan diri, atau sekadar ingin dianggap “update”?

Karena pada akhirnya, bentuk terbaik dari self-love adalah memahami apa yang benar-benar dibutuhkan oleh diri sendiri—bukan apa yang sedang tren di timeline orang lain. (red.al)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2020 Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA | All Right Reserved